-->

Jalan Sunyi : Soe Hok-Gie




Judul Buku        : Soe Hok-Gie, Sekali Lagi
Editor                : Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan
Penerbit             : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Cetakan             : Kedua, Januari 2010
Tebal                  : xxxix + 512 halaman

Mengenang Soe Hok-Gie, barangkali kita bisa merasa bangga sekaligus miris dalam waktu yang bersamaan. Ia adalah aktivis mahasiswa angkatan 66 yang mempunyai kontribusi penting dalam menjatuhkan rezim Orde Lama (Orla). Bersama sahabat-sahabatnya, Hok-Gie menjadi salah satu aktor intelektual dari demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa. Tidak hanya melalui demonstrasi, ia pun kerap mengkritik pemerintahan melalui tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai media cetak. Tulisan-tulisannya yang keras dan tajam tersebut seringkali membuat panas telinga para pejabat.

sampul depan 2Namun demikian, berbagai kritik yang dia lancarkan justru menimbulkan kebimbangan yang mendalam dalam hatinya. Simak saja ucapannya kepada Arief Budiman, kakaknya, beberapa waktu sebelum ia meninggal pada Desember 1969. “Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”.

Buku Soe Hok-Gie, Sekali Lagi ini mencoba memotret Hok-Gie dari sisi kemanusiaan, terutama mengenai perasaan kecewa dan kesepian akut yang ia alami. Tak heran jika Gie begitu mengidolakan lirik lagu ini, Nobody knows the trouble I’ve seen, nobody knows my sorrow.Sehingga, dengan begitu buku ini melengkapi Catatan Seorang Demonstran (Cetakan 7, 2005) serta biografi Gie karya John Maxwell yang berjudul Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani (2001). 

Bila dua buku tersebut menggambarkan Hok-Gie sebagai seorang political animal, buku ini memakai pendekatan yang berbeda. Seperti diungkapkan Rudy Badil – editor – buku ini ditujukan untuk memberikan pesan kepada anak-anak muda negeri ini mengenai kesetaraan dan kepedulian tentang kemanusiaan dalam alam bangsa Indonesia.


http://media.viva.co.id/thumbs2/2008/12/15/60997_soe_hok_gie_641_452.jpg

Dalam bab 1 dan 2, buku yang diniatkan untuk memperingati 40 tahun kematian Hok-Gie ini membahas mengenai kronologi hari-hari di sekitar tragedi Semeru 1969 yang merenggut nyawa Hok-Gie dan Idhan Lubis. Beberapa penulis yang juga ikut mendaki Semeru 40 tahun yang lalu mencoba menjelaskan pergulatan yang terjadi menjelang dan pasca tragedi itu. Sebelum memutuskan untuk naik ke Semeru, perdebatan terjadi cukup seru di internal Mapala Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS-UI), terutama antara Hok-Gie dan sahabatnya, Herman Lantang. Penyebab utamanya, ada tiga anak luar Mapala FS-UI – Rudy Badil, Idhan Lubis, serta Freedy Lasut – yang akan ikut perjalanan ke Semeru. Padahal kala itu, Mapala FS-UI hanya ditujukan bagi mahasiswa dari UI saja. Setelah melakukan debat, akhirnya, ketiga orang tersebut diperbolehkan ikut. Pada hari Jumat, 12 Desember 1969, rombongan yang terdiri dari 5 mahasiswa Mapala FS-UI dan tiga anak luar Mapala berangkat menuju Semeru.

Tak disangka, pendakian menuju puncak tertinggi di pulau Jawa itu berakhir dengan sebuah tragedi. Hok-Gie dan Idhan Lubis meninggal setelah menghirup gas beracun di tepian lereng menjelang puncak Semeru (halaman 27-28). Kejadian tersebut terjadi tepat sehari menjelang ulang tahun Hok-Gie yang kedua puluh tujuh. Cita-cita sejarawan muda tersebut untuk merayakan ulang tahun di puncak Semeru pun kandas. Enam orang lain yang masih bertahan sungguh merasa shock. Meskipun demikian, mereka tetap berusaha turun dan mencari bantuan untuk mengevakuasi jenazah Hok-Gie dan Idhan Lubis yang tetap ditinggal di atas. Seminggu kemudian, jenazah berhasil dievakuasi dan kemudian dimakamkan di Jakarta. Hari itu, Indonesia kehilangan salah satu intelektual muda terbaiknya.

Di bab 3 dan 4, sahabat-sahabat Hok-Gie mencoba menuliskan serpihan-serpihan kenangan mereka mengenai sosok yang disebut musuh-musuhnya sebagai ‘Cina kecil”. Salah seorang sahabatnya di senat FS-UI tahun 1967-1969, Luki Sutrisno Beki, menyebut Hok-Gie sebagai seorang moralis absolut. Sederhananya, seorang moralis yang memakai perspektif absolut tidak akan membunuh seseorang meskipun dia tahu bahwa orang itu salah, bahkan ingin membunuhnya. Luki juga menyebut Hok-Gie seorang humanis universal. Itu terlihat dari sikapnya yang mendukung orang-orang yang tertindas. Contohnya, Hok-Gie adalah orang yang mengatakan dengan tegas bahwa dirinya adalah anti komunis. Namun ketika terjadi ketidakadilan terhadap simpatisan PKI pasca peristiwa 1965, Hok-Gie pun tak segan-segan untuk bersimpati kepada PKI dan mengkritik pemerintahan Orde Baru yang memunculkan tanda-tanda akan menjadi penguasa yang otoriter.

Kekecewaan

Meskipun termasuk sebagai salah satu “bidan” kelahiran Orde Baru, Hok-Gie justru menemukan banyak kekecewaan ketika Orba mulai eksis. Selain kekecewaan terhadap Soeharto dan TNI yang mulai bertingkah arogan, Hok-Gie juga kecewa terhadap akademisi-akademisi yang dulu mendukung Soekarno, tapi sekarang berbalik arah dan mendukung Soeharto. Dengan tegas, Hok-Gie menyebut orang-orang ini sebagai pelacur intelektual. Tanpa tedeng aling-aling, dalam tulisan-tulisannya di media, dia menyebut nama Emil Salim, Sadli, Ismail Suny sebagai seorang pelacur intelektual. Benar-benar menyentuh tabula rasa nama orang-orang yang dikritiknya.
 
Seperti diungkapkan Ikrar Nusa Bhakti, kekecewaan yang begitu mendalam terhadap teman-teman aktivis seangkatannya pun ia rasakan ketika mereka berebut masuk ke parlemen dan kemudian berebut untuk mendapatkan kredit mobil Holden (halaman 340). Akumulasi kekecewaan demi kekecewaan ini ditunjukkan dengan mengirimkan sejumlah paket yang berisi alat kecantikan kepada rekan-rekannya yang menjadi angggota parlemen. Tak lupa ia mencantumkan kalimat sindiran, “gunakan ini agar makin tampil cantik di parlemen”. Ini adalah aksi terakhir sebelum pendakian ke Semeru yang merenggut nyawanya. Aksi yang membuatnya tambah terpencil lagi di hadapan teman-teman mahasiswa yang dulu bersama-sama turun ke jalan. Hok-Gie merasa semakin kesepian. Ben Anderson, sahabat  di Cornell University mencoba menghibur. “Gie, seorang intelektual bebas adalah pejuang yang selalu sendirian”, ungkap Ben Anderson dalam suratnya.

Namun, itu pun tidak mampu menghibur Hok-Gie. Dalam keadaan yang penuh kekecewaan dan kesepian inilah Hok-Gie bersama 7 orang sahabatnya mendaki Semeru di akhir tahun 1969. Pendakian ini menjadi bentuk ekspresi untuk sejenak melarikan diri dari masalah yang sedang dihadapi. Namun, takdir memang tak dapat ditolak, Gie menghembuskan nafas terakhirnya di puncak tertinggi di Pulau Jawa.

Buku ini kemudian di tutup dengan beberapa tulisan Hok-Gie yang pernah dimuat di surat kabar (Bab 5). Salah satu tulisan paling berani yaitu ketika ia menulis artikel dengan judulBetapa Tidak Menariknya Pemerintah Sekarang. Artikel yang berisi kritiknya terhadap Orba dan Soeharto ini membuat Hok-Gie hampir diserempet oleh mobil. Arief Budiman yakin hal itu dikarenakan tulisannya. Hok-Gie memang seorang yang tidak takut mati dibunuh orang. Satu-satunya ketakutannya yang terbesar adalah ia dibuat cacat sehingga menjadi beban bagi orang-orang terdekatnya.

Akhirnya, membaca Hok-Gie adalah membaca potret seorang mahasiswa Indonesia yang selalu gelisah melihat ketidakadilan terjadi di sekelilingnya. Potret mahasiswa yang memilih jalan sunyi dan berseberangan dengan rekan-rekannya. Bahkan untuk jalan sunyi itu, ia harus menahan dalam-dalam rasa kesepian dan kekecewaan. Sampai akhirnya, maut merenggut nyawannya. Ia mati tercekik gas beracun di tempat yang terpencil dan dingin.
LihatTutupKomentar