-->

soe hok gie sekali lagi

https://dapurkata45.files.wordpress.com/2013/12/soe_copy1.jpg


 Empat puluh tahun yang lalu, Indonesia telah kehilangan salah satu anak bangsa terbaiknya di puncak tertinggi Pulau Jawa. Dia adalah akademisi, aktivis, humanis, dan pecinta alam yang berhasil menggagas perubahan sosial di tahun 1966 bersama kawan-kawan mahasiswanya yang lain.

Dia adalah seorang pemuda yang enggan terkooptasi oleh penguasa dan tidak takut untuk melancarkan kritik, bahkan kepada rekan-rekannya semasa perjuangan meruntuhkan Orde Lama. Dia adalah seorang yang memilih menjadi “pohon oak” yang berdiri tegak melawan angin, ketimbang menjadi “pohon bambu” yang mudah ikut arus. Dia adalah Soe Hok Gie, seorang pemuda yang tetap teguh pada perjuangan melawan ketidakadilan hingga akhir hayatnya.

http://www.fokal.info/fokal/wp-content/uploads/2013/05/RBF-GIE.jpgSikap kritisnya di awal era Orde Baru telah menjadikan dirinya sebagai lawan penguasa pada saat itu. Meski dirinya turut serta meruntuhkan RBF-GIEdominasi Partai Komunis Indonesia (PKI), namun dirinya justru bersuara paling keras atas penangkapan dan pembunuhan kader-kader PKI ataupun mereka yang disangka sebagai kader-kader PKI.

Dia menganggap proses pengadilan terhadap kader dan simpatisan PKI sangat jauh dari adil. Hal inilah yang membuat gerah para penguasa, dan dia sendiri mengalami beberapa ancaman selama melancarkan kritik atas kebijakan Orde Baru dalam memberantas PKI.

Tulisan-tulisannya yang terlihat melawan Orde Baru menyebabkan namanya seakan hilang dari catatan sejarah Indonesia dan baru muncul di tahun 1980-an ketika salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang cukup besar pada saat itu, Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), menerbitkan catatan harian Soe Hok Gie dengan judul Catatan Seorang Demonstran (CSD) yang berisi pandangan dan dokumentasi kegiatan dirinya mulai dari SMP hingga bermetamorfosis menjadi seorang aktivis mahasiswa.

Sayangnya, seperti nasib buku-buku lain yang berada di luar mainstream pemerintahan Orde Baru, CSD pun seakan harus diperoleh dengan susah payah meskipun sudah beberapa kali mengalami cetak ulang hingga pertengahan tahun 1980an.

Usaha yang dirintis oleh LP3ES tidak berhenti sampai disitu, karena ada beberapa penerbit lain yang berupaya untuk mengingatkan lagi memori akan Soe Hok Gie melalui pembukuan hasil tulisannya. Mulai dari kumpulan artikelnya (Zaman Peralihan, oleh Bentang Budaya), skripsi sarjana muda (Di Bawah Lentera Merah), dan skripsi sarjana (Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan).

Ada pula buku karya John Maxwell, yang bukan berisi tentang tulisannya namun membahas dinamika perjalanan semasa Soe Hok Gie masih hidup, khususnya periode ketika dia menjadi aktivis, yang berjudul Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Dan ketika saat ini kita memperingati 40 tahun kematian Soe Hok Gie (dan 67 tahun kelahirannya), kita memperoleh referensi baru mengenai sosok Soe Hok Gie. Buku dengan judul Soe Hok-Gie…Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya, adalah sebuah karya yang digagas oleh beberapa teman Soe Hok Gie semasa berkuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI). Buku ini berisi opini terhadap Soe Hok Gie dari berbagai pihak yang pernah bersentuhan dengan dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Ada lima bagian dalam buku ini, masing-masingnya memiliki benang merah yang sedikit berbeda. Bagian kedua diisi dengan tulisan-tulisan dari kawan-kawan Soe Hok Gie, khususnya anggota Mapala FSUI yang turut serta dalam pendakian ke Gunung Semeru hingga dia menemui ajalnya. Bagian ini menceritakan berbagai pengalaman kawan-kawan Soe Hok Gie mulai dari persiapan menuju Gunung Semeru, hingga akhirnya tiba di sana, sekaligus beberapa tulisan penting mengenai kondisi Gunung Semeru itu sendiri dan mengenai Idhan Lubis (yang meninggal bersama Soe Hok Gie di Gunung Semeru) serta Freddy Lasut.

Bagian ketiga diisi dengan tulisan-tulisan dari kawan-kawan Soe Hok Gie yang bukan anggota Mapala UI, namun menjadi rekan sesama aktivis di era 1966. Bagian ini menuliskan bagaimana sesungguhnya kiprah Soe Hok Gie, baik itu di internal FSUI, internal UI, ataupun di gerakan 1966 secara umum.

Bagian keempat berisi opini dari orang-orang yang belum pernah mengenal Soe Hok Gie secara personal, namun telah mengetahuinya dari buku-buku yang telah terbit. Bagian ini menceritakan bagaimana tulisan-tulisan Soe Hok Gie, khususnya CSD, mempengaruhi berbagai macam individu, mulai dari sutradara, aktor, seniman, akademisi, hingga aktivis di tahun 1970an, 1980an dan 1990an. Sedangkan bagian terakhir berisi tulisan-tulisan Soe Hok Gie yang pernah dibuatnya, dan dipublikasikan di berbagai media massa.

Buku ini memiliki sedikit perbedaan jika dibandingkan dengan buku-buku “karya” Soe Hok Gie sebelumnya (saya memakai tanda kutip karena Soe Hok Gie sendiri tidak pernah menulis buku). Jika buku-buku sebelumnya selalu berisi mengenai opini Soe Hok Gie pada dunia dan lingkungan sekitarnya, buku ini justru berisi mengenai opini dari dunia dan lingkungan sekitarnya pada Soe Hok Gie.

Perbedaan ini membuat para pembaca akan mampu melihat Soe Hok Gie dari sisi lain. Ide ini merupakan sumbangan pemikiran dari kawan dekat Soe Hok Gie semasa kuliah, A. Dahana (saat ini telah menjadi guru besar di Fakultas Ilmu Budaya UI), yang berkata: “Sebaiknya kami tulis saja opini tentang Hok-gie, agar ada sisi lain yang baru buat pembacanya. Sebab dengan beredarnya buku catatan hariannya, skripsi sarjana, dan kompilasi artikel Soe, nama Hok-gie sudah terkenal. Bahkan tulisannya dan kisahnya, konon menjadi sumber inspirasi dan gerakan di zaman 1980-an, sampai tahun reformasi 1998-an.” (hlm. Xxxiii).

Hal itu pula yang membedakan buku ini dengan karya John Maxwell. Ketika John Maxwell menulis Soe Hok Gie sebagai seorang tokoh historis, dan dianalisa secara akademis, maka buku ini menceritakan sosok Soe Hok Gie sebagai seorang kawan, seorang guru dan dianalisa dengan lebih membumi karena didasarkan pada pengalaman pribadi.

Misalnya, A. Dahana menulis bahwa Soe Hok Gie adalah orang yang mengajarkan dirinya untuk menghadapi bacaan-bacaan yang bersifat propaganda (hlm. 235). Atau seperti yang dituliskan oleh Luki Sutrisno Bekti, bahwa Soe Hok Gie adalah sosok yang sering membantu kawan-kawannya, entah itu sekedar masalah percintaan, hingga tugas-tugas kuliah (hlm. 175-176).

Selain menyajikan sisi lain Soe Hok Gie, buku ini menyajikan foto-foto Soe Hok Gie yang tidak pernah ada di buku-buku sebelumnya. Sehingga para pembaca dapat memperoleh deskripsi atas Soe Hok Gie dengan lebih jelas dan otentik, ketimbang bersandar pada citraan yang telah dikonstruksikan dalam film GIE oleh aktor Nicholas Saputra (apalagi buku Catatan Seorang Demonstran pernah dicetak ulang dengan menggunakan poster film GIE sebagai sampulnya).

Perbedaan-perbedaan inilah yang menjadikan buku Soe Hok-Gie…Sekali Lagi layak untuk dibaca dan melengkapi perbendaharaan referensi atas sosok Soe Hok Gie. Disamping itu, buku ini juga dapat mengubah stigma publik terhadap sosok Soe Hok Gie yang telah dikultuskan sebagai aktivis, sehingga terkesan sangat jauh dan tidak terjangkau oleh pembaca. Padahal sesungguhnya sosok Soe Hok Gie tak berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia lainnya, meski dirinya terkenal kritis dan tanpa tedeng aling-aling.

Contoh sosok Soe Hok Gie yang jauh dari stigma orang dapat dilihat dari cerita Rudy Badil yang menulis bahwa Soe Hok Gie pernah berkata: “Elo pipis di kantong plastik aja asal jangan keliatan Tides. Entar dia iri dan ikut-ikutan kencing dalam gerbong.” (hlm.5), bahkan menurut Rudy Badil lagi, Soe Hok Gie pun senang bergosip (hlm. 7).

Tetapi penyajian sisi lain inilah yang membuat saya tidak menyarankan buku Soe Hok-Gie…Sekali Lagi dibaca sebagai perkenalan menuju dunia Soe Hok Gie, khususnya bagi para pembaca yang belum pernah mengonsumsi Catatan Seorang Demonstran, atau buku-buku Soe Hok Gie lainnya. Karena, menurut pendapat saya, buku ini lebih bersifat komplementer terhadap buku-buku Soe Hok Gie yang telah terbit sebelumnya.

Buku Catatan Seorang Demonstran masih merupakan karya yang paling baik untuk mengenal sosok Soe Hok Gie. Film GIE pun sudah cukup memberikan gambaran umum bagaimana dinamika kehidupan Soe Hok Gie semasa kecil hingga menjadi aktivis mahasiswa, meski banyak kekurangan disana-sini.

Meski demikian, buku ini wajib dibaca dan dimiliki para pembaca yang mengidolakan Soe Hok Gie, ataupun bagi mereka yang ingin mengenal sosok Soe Hok Gie. Tentunya dengan harapan agar Indonesia melahirkan lebih banyak lagi pemuda yang memiliki integritas dan kegigihan seperti Soe Hok Gie.
LihatTutupKomentar