Pemerintahan Desa Banyuroto konon kabarnya dimulai sekitar tahun 1860-an. Bila legenda ini tepat, maka pemerintahan Desa Banyuroto diawali pada masa perjuangan Pangeran Diponegoro melawan pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa itu, yang memimpin Desa Banyuroto (Cebongan) adalah H. Ibrohim, seorang yang sangat terkenal sampai ke wilayah luar Salatiga. Ia adalah sosok pemimpin yang dicintai rakyatnya, sebab jika ada rakyatnya yang mendapat gangguan keamanan berbahaya dari manapun datangnya, maka H. Ibrohimlah yang akan membelanya. Masyarakat Banyoroto telah mengetahui, dirinya memang sakti dan mereka menganggapnya sebagai pendekar yang mempunyai kekuatan luar biasa.
Ilmu keampuhan yang dimilikinya tentunya dengan latihan yang amat berat dan pendalaman ilmu-ilmu agama dengan pengamalan doa-doa dan wirid-wirid dan juga selalu bertirakat dengan berpuasa. Pepatah mengatakan “puncak gunung itu tidak akan datang di hadapan kita manakala kitalah yang harus menadaki“. Suatu ketika, Keraton Surokarto dimasuki beberapa garong yang merampok barang-barang berharga. Maka Ratu di Keraton Surakarto mengeluarkan sayembara umum, yang berbunyi: “Barangsiapa yang bisa menangkap para penjahat yang memasuki Keraton Surokarto akan diberi hadiah yang sangat besar, yaitu emas picis rojo brono (benda pusaka berharga) atau wanita molek dari Keraton.” Setelah mendengar sayembara itu, H. Ibrohim bersegera datang ke Keraton Surakarta dan berusaha dengan sedapat-dapatnya akhirnya para penjahat tersebut dapat ditaklukkan H. Ibrohim.
Selanjutnya H. Ibrohim disuruh memilih salah satu diantara dua macam hadiah yang ditawarkan. Akan tetapi, H. Ibrohim menepis keduanya, sebab alasannya kedua hadiah itu untuk kepentingan pribadi saja dan mudah dihempas waktu. Namun, H. Ibrohim mempunyai satu permintaan kepada Keraton Surokarto yaitu agar mengalirkan air dari tuk Senjaya Desa Bener ke Dusun Isep-Isep yang saat itu merupakan bagian dari Desa Banyuroto. Lalu pihak Keraton mengabulkan permintaannya.
Kegotongroyongan masyarakat Desa Bener, Desa Tingkir dan Desa Banyuroto diberdayakan untuk mengadakan kerja bakti membuat selokan dari arah Senjaya bagian paling atas, agar airnya dapat mengalir sampai ke Dusun Isep-Isep. Menurut cerita, tanggul selokan pada waktu itu dapat dilalui kereta ketika Ratu dari Keraton Surokarto meninjau hasil pembuatan selokan. Saluran air yang dimaksud oleh masyarakat Tingkir dinamakan Kali Buket, sedang masyarakat Banyuroto menamakannya Selokan.
Lalu tentang pergantian nama Banyuroto menjadi Cebongan, memang terjadi sejak lurah pertama (H. Ibrohim). Alasannya? Karena kondisi Banyuroto saat itu dikelilingi sungai-sungai yang dalam. Seperti, bagian arah dari barat terdapat sungai Gandu, dari arah timur ada sungai Kedung Kere. Sungai-sungai tersebut tempo dulu telah dilengkapi jembatan yang terbuat dari kayu atau bambu. Lalu lambat laun jembatan itu retak, sehingga warga masyarakat dari lain daerah yang ingin ke Banyuroto harus menyebrangi sungai Gandu atau Kedung Kere, karena jembatannya sudah tidak berfungsi.
Menjelang musim kemarau, airnya akan surut, lalu akan terlihat betapa dalam kubangan yang ada. Kemudian di kubangan-kubangan air itulah digunakan untuk sarang katak yang bertekur dan akhirnya menetas dan jadilah “cebong” yang amat banyak. Karena banyaknya cebong yang mengelilingi Banyuroto, maka H. Ibrohim menggantinya menjadi Desa Cebongan. Desa Banyuroto yang aslinya hanya memiliki tiga wilayah dusun, yaitu Banyuroto (Cebongan), Isep-Isep dan Jagalan. Lalu pada masa pemerintahan Lurah Gunadi, muncullah nama-nama dusun yang baru, yaitu Sukosari, Sidoharjo dan Sukoharjo.
Sebelum masuk wilayah Kota Salatiga, dulu wilayah Desa Cebongan berada di wilayah Pemerintahan Kabupaten Semarang. Berdasarkan PP Republik Indonesia no 69 tahun 1992 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga dan Kabupaten Daerah tingkat II Semarang, wilayah Desa Cebongan masuk ke dalam Pemerintahan Kotamadya Salatiga (pemekaran th 1992). Lalu Desa Cebongan beralih status lagi menjadi Pemerintah Kelurahan Cebongan yang saat itu dibawah kekuasaan Drs. Sururi berdasarkan Peraturan Daerah Kota Salatiga no 11 tahun 2003 tentang Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan.
Sumber: GERTAK LSM, Agustus 2004
Ilmu keampuhan yang dimilikinya tentunya dengan latihan yang amat berat dan pendalaman ilmu-ilmu agama dengan pengamalan doa-doa dan wirid-wirid dan juga selalu bertirakat dengan berpuasa. Pepatah mengatakan “puncak gunung itu tidak akan datang di hadapan kita manakala kitalah yang harus menadaki“. Suatu ketika, Keraton Surokarto dimasuki beberapa garong yang merampok barang-barang berharga. Maka Ratu di Keraton Surakarto mengeluarkan sayembara umum, yang berbunyi: “Barangsiapa yang bisa menangkap para penjahat yang memasuki Keraton Surokarto akan diberi hadiah yang sangat besar, yaitu emas picis rojo brono (benda pusaka berharga) atau wanita molek dari Keraton.” Setelah mendengar sayembara itu, H. Ibrohim bersegera datang ke Keraton Surakarta dan berusaha dengan sedapat-dapatnya akhirnya para penjahat tersebut dapat ditaklukkan H. Ibrohim.
Selanjutnya H. Ibrohim disuruh memilih salah satu diantara dua macam hadiah yang ditawarkan. Akan tetapi, H. Ibrohim menepis keduanya, sebab alasannya kedua hadiah itu untuk kepentingan pribadi saja dan mudah dihempas waktu. Namun, H. Ibrohim mempunyai satu permintaan kepada Keraton Surokarto yaitu agar mengalirkan air dari tuk Senjaya Desa Bener ke Dusun Isep-Isep yang saat itu merupakan bagian dari Desa Banyuroto. Lalu pihak Keraton mengabulkan permintaannya.
Kegotongroyongan masyarakat Desa Bener, Desa Tingkir dan Desa Banyuroto diberdayakan untuk mengadakan kerja bakti membuat selokan dari arah Senjaya bagian paling atas, agar airnya dapat mengalir sampai ke Dusun Isep-Isep. Menurut cerita, tanggul selokan pada waktu itu dapat dilalui kereta ketika Ratu dari Keraton Surokarto meninjau hasil pembuatan selokan. Saluran air yang dimaksud oleh masyarakat Tingkir dinamakan Kali Buket, sedang masyarakat Banyuroto menamakannya Selokan.
Lalu tentang pergantian nama Banyuroto menjadi Cebongan, memang terjadi sejak lurah pertama (H. Ibrohim). Alasannya? Karena kondisi Banyuroto saat itu dikelilingi sungai-sungai yang dalam. Seperti, bagian arah dari barat terdapat sungai Gandu, dari arah timur ada sungai Kedung Kere. Sungai-sungai tersebut tempo dulu telah dilengkapi jembatan yang terbuat dari kayu atau bambu. Lalu lambat laun jembatan itu retak, sehingga warga masyarakat dari lain daerah yang ingin ke Banyuroto harus menyebrangi sungai Gandu atau Kedung Kere, karena jembatannya sudah tidak berfungsi.
Menjelang musim kemarau, airnya akan surut, lalu akan terlihat betapa dalam kubangan yang ada. Kemudian di kubangan-kubangan air itulah digunakan untuk sarang katak yang bertekur dan akhirnya menetas dan jadilah “cebong” yang amat banyak. Karena banyaknya cebong yang mengelilingi Banyuroto, maka H. Ibrohim menggantinya menjadi Desa Cebongan. Desa Banyuroto yang aslinya hanya memiliki tiga wilayah dusun, yaitu Banyuroto (Cebongan), Isep-Isep dan Jagalan. Lalu pada masa pemerintahan Lurah Gunadi, muncullah nama-nama dusun yang baru, yaitu Sukosari, Sidoharjo dan Sukoharjo.
Sebelum masuk wilayah Kota Salatiga, dulu wilayah Desa Cebongan berada di wilayah Pemerintahan Kabupaten Semarang. Berdasarkan PP Republik Indonesia no 69 tahun 1992 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga dan Kabupaten Daerah tingkat II Semarang, wilayah Desa Cebongan masuk ke dalam Pemerintahan Kotamadya Salatiga (pemekaran th 1992). Lalu Desa Cebongan beralih status lagi menjadi Pemerintah Kelurahan Cebongan yang saat itu dibawah kekuasaan Drs. Sururi berdasarkan Peraturan Daerah Kota Salatiga no 11 tahun 2003 tentang Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan.
Sumber: GERTAK LSM, Agustus 2004